Rabu, 28 Juli 2010

Penyalahgunaan Obat Obatan

PENYALAHGUNAAN OBAT

Penyalahgunaan obat adalah masalah besar dewasa ini, khususnya dikalangan para remaja umur belasan tahun dan orang muda dewasa. Obat-obatan yang paling popular ialah obat-obatan yang mengubah fikiran, yang menyebabkan perasaan senang jangka pendek. Penggunaannya yang terus menerus akan dengan segera menyebabkan penggunannya tergantung pada obat itu. Mendapatkan lebih banyak obat menjadi dorongan yang sangat kuat dalam hidup seseorang yang menderita ketergantungan kepada obat, dan semua perhatian lain menjadi tunduk kebawah tujuan ini. Keluarga, pendidikan, kesehatan, mencari nafkah semuanya menjadi nomor dua. Keinginan orang yang sudah kecanduan obat begitu kuatnya, sehingga sering melakukan kejahatan untuk memperoleh uang untuk membeli obat.
Pertanyaan mungkin perlu dipertanyakan. Jika para remaja umur belasakan tahun menyadari pengaruh buruk obat-obatan itu, mengapa mereka melibatkan diri di dalamnya? Ada beberapa alasan. Orang –orang dari segala zaman cenderung untuk tidak mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain, tetapi mau mengalaminya sendiri, dan kecenderungan ini khususnya sangat umum pada anak-anak remaja umur belaan tahun, yang ingin sekali membuat pilihan sendiri dan membentuk identitas mereka sendiri. Anak-anak umur belasan tahun juga tidak mau teman-temannya menganggap mereka lain dari yang lain, dan oleh sebab itu mereka tunduk kepada tekanan teman sebayanya. Takut menjadi lain dari keinginan menjadi teman yang baik sangat sulit untuk ditolak dan tentu saja, obat-obatan dengan mudah tunduk kepada bujukan “cobalah dulu”.
Dewasa ini minuma beralkohol bisa digunakan oleh para orang dewasa dikebanyakan rumah tangga, dimana ada anak-anak remaja umur belasan tahun. Banyak yang merokok, dan hampir semua orang menggunakan minuman yang mengandung kafeine. Semua kebiasaan sosial ini menyebabkan kecanduan. Didalam kotak obat di rumah terdapat juga zat-zat lain yang bisa menyebabkan kecanduan misalnya : Obat tidur, obat penenang, obat penekan napsu makan dan obat penghilang rasa sakit. Oleh karena itu kebanyakan dari obat-obat ini tidak digunakan oleh pecandu obat bius , maka obat-obat ini hanya digunakan sebagai pemula saja.
Yang mendorong menggunakan obat bius mungkin adalah teman sekelas atau remaja belasan tahun yang tidak lagi bersekolah atau putus sekolah. Siapa pun dia, dia mungkin mendapatkan pasokan obat itu dari remaja umur belasan tahun lain, yang disuplay oleh seorang pengedar obat bius dewasa. Pengedar ini mendapat obat bius dari penyelundup yang memasukkan obat bius kedalam negeri secara illegal. Dengan demikian perjalanan obat bius itu mulai dari tempat asalnya, sampai kepada penggunanya, telah melalui beberapa tangan. Tidak mudah untuk menelusuri jalur transaksi, tidak juga da cara untuk memeriksa mutu produk yang ditransaksikan.
Orang yang mengedarkan obat-obat bius itu cenderung menipu. Motif utama mereka ialah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka sering mencampur produk yang dijualnya dengan bahan-bahan yang lebih murah yang tidak mudah dikenali. Akibatnya, pengguna obat pada akhir mata rantai itu sungguh tidak mengetahui apa yang dibawa olehnya dari pengedar, dan biasanya ia takut untuk mengatakannya.
Pengguna obat bius tertentu menjadi terbiasa pada effek nya, ia belajar berapa banyak yang harus ia gunakan untuk memperoleh effek yang diinginkan. Banyak obat yang didapatnya sudah diencerkan beberpa kali. Tetapi pada suatu ketika obat yang dibelinya belum di encerkan seperti yang biasa digunakan sebelumnya dengan demikian pengguna obat menggunakan obat bius melampaui batas yang bisa berakibat fatal.
Pengguna obat bius juga menanggung kemungkinan resiko lain bahwa dalam pemalsuan obat waktu berpindah dari satu tangan ke tangan lain, penggantinya bisa dibuat bukan dengan bahan berbahaya, tetapi dengan obat yang sangat peka kepada si pengguna. Akibatnya, reaksi keracunan, Kalau bukan fatal bisa terjadi.
Anak remaja umur belasan tahun yang bijaksana akan melihat hikmah bukan dalam bereksperimen (mencoba-coba) dengan obat-obat bius , satu kali pun jangan lebih baiklah kehilangan teman yang menggnakan obat bius dari pada terjerat. Dalam kebisaan yang akan merusak kepriadianmu, Rasa harga dirimu, dan bahkan hidupmu sendiri.
Remaja umur belasan tahun sedang menghadapi dunia nyata. Mereka belum mempunyai pengalaman yang akan memberikan nikmat kepada mereka untuk membuat keputusan yang penting demi keberhasilan rasa percaya diri mereka. Tekanan teman sebayanya mungkin selamanya tinggi dan mungkin bertentangan dengan standar yang telah dibangun di rumah tangga dan di sekolah. Persahabatan-persahabatan baru bisa dibangun dan diputuskan. Ketidak semimbangan emosi dan perubahan-perubahan suasana hati umum terjadi.
Jika kita mempunyai anak remaja belasan tahun, mintalah nasehat dari seseorang yang bisa dipercaya yang kita rasa mempunyai kemampuan untuk memberikan nasehat yang baik menyenai jalan yang akan ditempuh. Jika kita telah membangun hubungan baik dengan anak kita, kita bisa mendekati mereka dengan masalah-masalah anak kita dengan kepercayaan pengertian dan kesungguh-sungguhan. Kalau tidak mintalah nasehat seorang guru, seorang dokter, atau seorang rohaniawan yang bisa dipercaya.
Demikianlah makalah ini saya buat mudah mudahan bisa bermanfaat bagi kita semua untuk menjadikan kualitas hidup yang lebih baik dan bermanfaat.



Penulis


SUPRAJAT
(Kls:L / 617 PGMI )









Sabtu, 17 Juli 2010

KOKOHNYA IMAN VS BENGISNYA PREMAN (Good Story)

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.


Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik .. itu akan mendarat di wajah mereka.


Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara Ayat Suci yang amat ia benci. "Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerannya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.


Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan kepada sang Algojo... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...Insya Allah tempatmu di Syurga." Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.


Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu!


Sang Ustadz lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah SWT. Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."


Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.


Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.


Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.


Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol. Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.


Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.


Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi ( ibu ) yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti abayanya.
Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."


Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..." Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.


"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih. "Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. "Hai bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu.
Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.


Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.


Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa..." Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.


Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.


Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.


Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"
Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha illallah, wa asyahadu anna Muhammadan Rasullullah...'. Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.


Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agama Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

" Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." (Q.S.Ali Imron:54).